This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 07 September 2012

Tanpa Judul

tes
tes 1

Fawwaz & Bude Sum

Polisi Teladan

Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya. Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes. Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan menolak. “Ya… saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya. “Em… emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak melakukannya. “Baik… Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang besar…!” begitu gumamnya. Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya. *** Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan…. Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” “Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas. “Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang… Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara. Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.

Saya & Istriku

Rabu, 05 September 2012

Maunya Suami

Setiap orang yang normal pasti ingin menikah dan punya anak. Setelah berkeluarga pasti masing-masing punya harapan dan kemauan. Sebagai suami, saya juga punya banyak maunya terhadap istri saya. Semoga ini bukan merupakan bentuk penindasan suami terhadap istri, hehehe… Saya maunya istri lebih banyak di rumah. Apakah tidak boleh bisnis atau bekerja? Boleh, tapi itu bukan prioritas. Waktunya lebih banyak untuk anak-anak dan berada di sisi saya saat saya di rumah. Bila mau bekerja atau bisnis silakan tapi di waktu-waktu sisa, bukan waktu yang utama. Tidak punya penghasilan dong? Tidak apa-apa semua kebutuhan dan permintaanmu saya penuhi. Saya maunya istri mengembangkan kemampuannya dari rumah bukan dengan meninggalkan rumah. Saya tidak ingin istri saya terlalu lelah. Tugas menemani dan mendidik anak itu lebih penting dan memerlukan energi besar. “Jangan kuras energimu, saya ingin kau selalu terlihat segar dan bugar.” Saya maunya istri itu konsultan buat saya. Saat saya ingin maju, ia mensupport dan mendorong saya. Saat saya alpa atau salah, ia yang meluruskan tanpa rasa takut sedikitpun. Saat saya membawa harta yang haram, ia menolak dan berani melawanku. Saya maunya istri itu selalu menemani saya. Walau tak harus selalu bersama, ia selalu menemani lewat telepon dan BB. “Rayuanmu, candaanmu itu selalu saya tunggu. Hati inipun terhibur saat kau kirim kata-kata I Love You atau I Miss You. Ketenanganpun menjalar dalam hatiku saat kau bercerita tentang kegiatanmu.” Saya maunya istri itu penyambung silaturahim. Ia selalu menjaga komunikasi dengan orang tua dan mertuaku. Ia selalu bercanda dengan saudaraku dan juga ipar-iparku. Bila orang tua, mertua dan para saudara serta ipar memerlukan bantuan dengan ringan ia menawarkan diri untuk membantu. Saya maunya istri itu sahabat abadi. Saya ingin selalu bersamanya di kehidupan dunia maupun setelah dunia. “Oleh karena itu, semakin hari saya ingin kau selalu mengajakku untuk selalu mendekat kepada-Nya. Saya ingin selama-lamanya kau ada di hatiku, di dadaku dan juga di sebelahku.” Maaf istriku kalau saya banyak maunya padahal belum banyak yang bisa saya berikan kepadamu. Pokoke, I love you… poll! sumber : http://www.jamilazzaini.com

Kupas Tuntas Halal Bihalal (Bagian Satu)

Di bulan Syawal ini undangan halal bihalal datang dari segala penjuru. Mulai dari halal bihalal kultural yang sudah dimulai sejak awal lebaran, yaitu berupa sungkeman, saling berkunjung dan bersalam-salaman dengan keluarga dan kerabat setelah sholat ied. Kemudian masih terus berlanjut di tengah suasana mudik berupa pertemuan ‘arisan’ keluarga, reuni, silaturahim dan semua kegiatan kumpul-kumpul yang semuanya mengusung makna halal bihalal. Ucapan “minal aidin wal faizin” dan “maaf lahir dan batin” pun didengungkan dimana-mana, baik sepenuh penghayatan maupun sekedar sapaan pembuka. Baru setelah orang-orang kembali ke rumah masing-masing, dan beraktifitas seperti biasa di bulan syawal, dimulailah periode halal bihalal yang lebih struktural, dalam arti tertata nan ceremonial penuh. Mulai dari halal bihalal di kantor, sekolahan, pesantren, jamaah masjid hingga lingkungan wilayah terkecil seperti RT dan RW. Inti acara halal bihalal biasanya adalah sambutan-sambutan yang menegaskan tulusnya hati untuk saling memaafkan lahir dan batin, serta uraian tausiyah untuk memotivasi ukhuwah dan ketaatan paska ramadhan. Kalaupun ada acara wajib lainnya, pastilah berupa aneka ragam hidangan yang tersajikan mengundang selera. Acara diakhiri dengan bersalam-salaman sebagai simbol luruh dan leburnya dosa-dosa. Sepanjang yang saya tahu, itulah yang dimaksud dan dijalankan di masyarakat kita tentang kegiatan Halal bihalal. Tidak ada ritual tertentu yang diadakan apalagi diwajibkan. Halal bihalal memang tradisi yang 100% Indonesia. Sebuah tradisi tetaplah menjadi tradisi yang bernilai standar “mubah” atau boleh selama tidak bertentangan dengan aturan syariah. Tradisi yang berjalan begitu saja tanpa ritual khusus, dan juga tanpa pemahaman itu hal yang wajib dilakukan, maka berkekuatan hukum mubah. Apalagi jika ditambahkan niatan kebaikan, dan agenda kebaikan seperti tausiyah, maka tidak menutup kemungkinan malaikat mencatatnya sebagai pahala. Sebuah hal yang mubah, bisa kita kapitalisasi menjadi berpahala, asalkan diniatkan kebaikan sepenuh penghayatan. Maka makan, mandi dan tidur kita yang awalnya hanya sekedar adat kebiasaan, bisa berpahala penuh selama ditumpangi dengan niatan kebaikan. Inilah yang dipahami sepenuhnya oleh Muad bin Jabal saat menyatakan : “ Sungguh aku ini berharap pahala saat tidur, sama dengan aku berharap pahala saat sholat malam “. Begitu pula halal bihalal, tradisi yang bisa jadi berbiaya tinggi, sangat disayangkan kalau tidak disertai niatan-niatan kebaikan. Untuk mengumpulkan niatan-niatan kebaikan saat berhalal bihalal, tentunya menarik kalau kita lebih jauh mengupas tentang beberapa perspektif inspirasi munculnya halal bihalal. Baik secara tinjauan sejarah, maupun anjuran-anjuran syariah yang mengisyaratkan ‘pentingnya’ halal bihalal dengan niatan tertentu. Pertama : Perspektif Sejarah Karena halal bihalal adalah kekhasan masyarakat Indonesia saat lebaran tiba, maka tinjauan sejarah pun kita batasi dengan catatan riwayat sejarah negeri ini. Halal bihalal pada awalnya adalah tradisi “sungkeman massal” yang dihidupkan oleh Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I ) pada masa tahun 1700-an. Beliau mengumpulkan para punggawa dan prajurit secara serentak –untuk menghemat waktu , tenaga dan biaya – setelah sholat Idul Fitri, untuk merayakan kegembiraan dengan berkumpul dan bersilaturahim. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem idul fitri kepada raja dan permaisuri. Tradisi halal bihalal versi pertama ini sangat kental dengan nuansa kraton dan budaya jawa yaitu sungkeman. Maka seiring dengan perkembangan jaman berupa surutnya hegemoni kraton, tradisi ini pun sempat tiarap dalam arti tidak terlampau populer. Barulah kemudian pada masa awal kemerdekaan Presiden RI bapak Soekarno menghidupkan kembali tradisi ini, kali ini dengan format halal bihalal yang lebih formal dan resmi. Sebab awalnya adalah masa revolusi kemerdekaan yang diawali dengan datangnya kembali Belanda mengancam tanah air, tokoh-tokoh pemerintahan sempat goyah dan terpecah. Keadaan begitu memprihatinkan pada waktu itu. JJ Rizal menuliskan : "Sejumlah tokoh pada bulan puasa tahun 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus saat itu, mengadakan perayaan Lebaran dengan mengundang seluruh komponen revolusi, walaupun pendirian politiknya beraneka macam dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Tujuannya, agar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa". (J.J. Rizal; Tempo 5 Nov 2006). Karena sejarahnya seperti itu, maka sangat wajar jika kemudian Halal bihalal jaman Bung Karno sangat kental nuansa nasionalisme dan persatuan. Harapan dan cita-cita Indonesia yang maju sejahtera muncul hebat terlebih lagi saat lebaran dan berhalal bihalal. Karenanya lirik lagu lebaran pada tahun-tahun itu 1950-an, yang ditulis oleh Ismail Mz dan Oslan misalnya, sangat kental nuansa patriotisme, nasionalis dan tentu saja soekarnois. Kita bisa membacanya dengan mudah pada lirik : “ Minal Aidin wal Faizin, maafkan lahir dan batin Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin .... “ Sebuah lirik yang menunjukkan kecintaan rakyat pada pemimpinnya –waktu itu-, yang barangkali pada saat ini kalau dilantunkan nuansa kebatinannya agak berbeda. Ala kulli haal, setelah dihidupkan kembali oleh Bung Karno, maka kemudian halal bihalal semacam menjadi program kerja resmi tahunan bagi instansi, kantor dan sekolahan, yang diadakan secara khusus di bulan Syawal. Dan terus berlanjut hingga saat ini .... sumber : www.indonesiaoptimis.com